Minggu, 02 Oktober 2011

Iklan dan kekerasan simbolik

Oleh: Ibu Endah Muwarni (28/09/2011)

Jika berbicara tentang komunikasi tentunya kita tidak akan terlepas dari simbol dan tanda-tanda, begitupula dengan iklan yang selalu mengaitkan simbol dan tanda-tanda untuk menunjang suatu pemasaran. Saat ini Iklan telah mengepung kita dari berbagai penjuru dan sepanjang waktu. Kemana saja kita pergi sepanjang hari, kita akan melihat iklan dimana-mana, baik itu di rumah, kantor, kampus, sekolah, stasiun, bandara maupun di tempat-tempat umum lainnya. Pengolah iklan seolah tidak akan melewatkan sejengkal tempat dan waktu untuk beriklan.

Iklan tidak hanya sekedar menunjang pemasaran atau menjual produk, tapi tanpa kita sadari iklan juga berpengaruh dalam membentuk sistem nilai, gaya hidup dan budaya kita. Iklan juga kini mengalami pergeseran fungsi,  iklan tidak hanya memvisualisasikan kualitas dan atribut dari produk yang djualnya, tetapi iklan secara perlahan-lahan juga mencoba untuk membentuk makna dan persepsi khalayak sehingga produk tersebut mempunyai arti sesuatu bagi khalayak yang melihatnya. Dalam konteks inilah iklan mendefinisikan image tentang arti tertentu yang diperoleh ketika orang menggunakan produk tersebut. Proses ini oleh Williamson (1978:20) disebut sebagai Using Product is Currency, yaitu menggunakan produk yang diiklankan sebagai uang untuk membeli produk kedua yang secara langsung tidak terbeli. 

Seperti contohnya iklan susu L-men yang dibintangi oleh seorang pria berotot dengan perut six pack. Iklan ini awalnya terlihat biasa saja namun sedikit demi sedikit iklan ini membentuk persepsi khalayak bahwa tubuh ideal seorang pria adalah harus yang seperti bintang iklan. Selain membeli produknya kita juga bisa bisa mendapatkan tubuh ideal seorang pria dengan perut six pack.




Contoh lainnya yaitu iklan susu WRP yang menampilkan seorang wanita yang memiliki tubuh langsing. Iklan ini membentuk persepsi khalayak bahwa wanita cantik harus memiliki tubuh yang langsing seperti bintang iklan susu WRP tersebut. Hal ini menjadikan setiap orang memiliki persepsi bahwa tubuh yang ideal bagi wanita adalah tubuh yang langsing.





Beberapa contoh iklan di atas tersebut merupakan contoh kekerasan simbolik yang terdapat dalam iklan, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tanpa disadari kekerasan simbolik dalam iklan sering kali menerpa masyarakat kita. Masyarakat tidak menyadari bahwa persepsi mereka telah dibentuk sedikit demi sedikit oleh iklan yang sering mereka lihat.

Pollay membagi fungsi komunikasi iklan menjadi 2:

Fungsi informasional, iklan memberitahukan kepada konsumen tentang karakteristik produk.

Fungsi transformasional, iklan berusaha untuk mengubah sikap-sikap yang dimiliki oleh konsumen terhadap merek, pola-pola belanja, gaya hidup, teknik-teknik mencapai sukses dan sebagainya.

Iklan Dalam Pemikiran Ilmuwan Sosial
Baudrillard          

Konteks iklan dalam pemikir Baudrillard yaitu bahwa iklan adalah bagian dari sebuah fenomena sosial bernama consumer society. Objek dalam iklan tidaklah berdiri sendiri melainkan dibentuk oleh sebuah system tanda (sign system) yang mengatur makna dari objek atau komoditas. Analisis Baudrillard berkontribusi dalam mengembangkan analisis mengenai produksi dan reproduksi pesan yang melibatkan peran dari citra (image) pada masyarakat kontemporer.



Barthes
Barthes menganalisa iklan sebagaimana layaknya seorang ahli linguistik, ia tertarik untuk membongkar makna dari pesan-pesan yang disampaikan lewat image maupun teks dalam media fenomena sosial lainnya. Makna ini dibongkar dengan terlebih dahulu menganalisa tanda-tanda yang merepresentasikan makna, dengan menggunakan semiotik sebagai kerangka analisa. Barthes memahami iklan sebagai signs yang mengatur makna yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan. Makna ideologis yang dimiliki iklan dibuat senetral mungkin, proses signifikasi (pembuatan tanda/sign) yang kemudian disebut Barthes sebagai myth.


Iklan dengan konsep kekerasan simbolik Bourdieu


Bagi Bourdieu, seluruh tingkatan pedagogis (sarana pendidikan) baik itu yang diselenggarakan di rumah, sekolah, media atau dimanapun memiliki muatan kekerasan simbolik selama pelaku memiliki kuasa dalam menentukan system nilai atas pelaku lainnya. Diasumsikan bahwa media dan iklan merupakan sarana yang digunakan untuk melakukan tindakan pedagogis dari kelas/kelompok sosial tertentu. Iklan menjadi sebuah mesin kekerasan simbolik yang bisa menciptakan system kategorisasi, klasifikasi, dan definisi sosial tertentu sesuai kepentingan kelas/kelompok dominan. Image-image simbolik yang diproduksi iklan seperti misalnya kebohongan, keharmonisan, kecantikan, kejantanan, gaya hidup modern pada dasarnya merupakan system nilai yang dimiliki kelas satu atau kelompok dominan yang diedukasi dan ditanamkan pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Proses penanaman nilai melalui iklan dapat membentuk habitus tentang system nilai tersebut. Sehingga iklan tidak hanya menciptakan subjek yang dapat meregulasi diri terkait konsumsi produk namun juga subjek yang dapat merugalasi diri terkait klasifikasi dunia social, disini kemudian terjadilah kekerasan simbolik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar